Thursday, May 26, 2011
Nabi Muhammad SAW dan Gua Hira (Jabal Nur)
Gua Hira yang terletak di perbukitan Jabal Nur merupakan lokasi pertama Rasulullah SAW dalam memikirkan kondisi kaumnya (Quraisy) yang jahiliyah. Kondisi kaumnya yang suka mabuk-mabukan, berzina, hingga membunuh anak kandung sendiri, membuat Muhammad sedih.
Kondisi kaum Quraisy ketika itu sudah sangat buruk dan sangat memprihatinkan. Mereka telah mempertuhankan berhala-berhala yang mereka buat sendiri. Berhala-berhala itu dipuja dan disembah. Mereka meminta kepada berhala-berhala itu karena dianggap sebagai penolong mereka.
Karena itulah, melihat kondisi buruk kaumnya ini, Muhammad bin Abdullah yang terkenal sebagai pria yang jujur (Al-Amin) pergi mengasingkan diri dari kehidupan kaumnya yang nista. Muhammad mencari petunjuk dalam upaya memperbaiki kehidupan kaumnya. Selama tiga tahun berturut-turut pada bulan Ramadhan, Muhammad bertafakur di Gua Hira yang berada di timur laut Kota Makkah, di pinggir jalan menunju Ji’ranah.
Ia menjadi seorang pencari kebenaran sejati (the seeker of truth). Muhammad senantiasa memikirkan keadaan kaumnya yang sudah melupakan ajaran Nabi Ibrahim al-Khalil. Di tempat sempit itulah, Muhammad berkhalwat (mengasingkan diri dari kehidupan duniawi dan mencari hakikat kebenaran). Budaya berkhalwat ini sebenarnya juga menjadi kebiasaan orang-orang Arab. Mereka melakukan hal itu untuk mencari kebenaran dan petunjuk dari yang Mahagaib.
Di suatu malam pada bulan Ramadhan, bertepatan dengan 13 Agustus 610 Masehi, Malaikat Jibril AS atas perintah Allah SWT turun ke bumi untuk menjumpai seorang manusia yang bernama Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muthalib dan menyampaikan firman Allah kepadanya.
Sementara itu, manusia yang akan dipilih menjadi penghulu dari segala nabi itu sedang terlelap tidur di sebuah gua di pegunungan (Jabal) Nur, sekitar enam kilometer dari Kota Makkah.
Ketika terjaga dari tidurnya, Muhammad kaget karena melihat ada orang lain (Malaikat Jibril) dalam gua.
Malaikat Jibril lalu menepuk pundaknya dan menyuruh dirinya untuk membaca. ”Iqra’ (bacalah),” kata Jibril. Dengan perasaan takut, Muhammad menjawab, ”Ma ana biqari’ (saya tidak bisa membaca).” Lagi-lagi, Malaikat Jibril memintanya untuk membaca, ”Iqra’.” Muhammad yang ummi (tak pandai membaca dan menulis–Red) ini tetap menjawab, ”Ma ana biqari’ (saya tidak bisa membaca).”
Hingga pada yang ketiga kalinya, Jibril mengajaknya untuk membaca. ”Iqra’ bismirabbikalladzi khalaq. Khalaqal insana min ‘alaq. Iqra’ warabbukal akram. Alladzi ‘allama bil qalam. ‘Allamal insana ma lam ya’lam.”
(Bacalah dengan (menyebut) Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaan kalam. Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya.” [QS Al-Alaq (96): 1-5].
Inilah pembaiatan Muhammad sebagai Rasulullah SAW yang membawa risalah kenabian dan kerasulan untuk mengajak umat manusia menuju cahaya Islam.
Selepas menerima wahyu pertama ini, Rasulullah SAW kemudian pulang ke rumah, menemui istrinya, Khadijah binti Khuwailid RA. Muhammad bergegas meminta istrinya agar memberikan selimut padanya. Kemudian, berceritalah manusia pilihan Allah ini tentang peristiwa yang baru saja dialaminya di Gua Hira. Tak berlangsung lama, Khadijah mengimani (mempercayai) yang disampaikan suaminya. Sebab, sejak kecil, Muhammad sudah dikenal sebagai seorang pria yang jujur. Karena itu, ia dijuluki dan diberi gelar Al-Amin (yang dapat dipercaya). Khadijah yakin, suaminya telah dipilih oleh Allah SWT sebagai rasul (utusan)-Nya. Muhammad dibaiat untuk membawa umat manusia menuju jalan yang lurus (shiratal mustaqim). Dan, kelima ayat dari surah Al-Alaq itu menjadi akses untuk memperbaiki dunia dari belenggu kebodohan dan kejahiliyahan.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment